0 komentar

ALHAMDULILLAH SISWA SISWI SMP PGRI 7 JAKARTA LULUS 100% ........

1 komentar

DENGAN MENGUCAP SYUKUR ALHAMDULILLAH SISWA SMP PGRI 7 JAKARTA DINYATAKAN LULUS 100%

Label:

Sekolah ku

0 komentar

SEKOLAH ku adalah surga Ku ..... tak terasa hari, bulan, tahun terlewati untuk mendidik siswa/i
ada yang sukses ada yg biasa dan ada yang gagal alias menjadi orang tak berguna alias sampah ... namun semua itu adalah hasil seleksi alam .. fitrah.
Kenangan demi kenangan menyelimuti aktifitas  KBM disekolah tapi tidak alay kayak anak jaman sekarang justru kami akan menciptakan sebuah kenangan terindah di setiap aktifitas ke guruan ..................  itu terbukti dari setiap foto - foto berikut ..

Label: ,

Dapodik kebijakan Baru

0 komentar


Adanya kebijakan verifikasi data guru secara online, membuat sejumlah guru bersertifikat pendidik merasa was-was, karena data yang tidak valid berarti tunjangan terancam beku alias tidak cair. Apalagi setelah sistem verifikasi mengenal perhitungan JJM, JJM KTSP, dan JJM Linier, serta normalitas rombel, banyak guru yang belum dapat memenuhi ketentuan 24 jam mengajar. Dengan verifikasi data ini, akan terlihat guru yang kekurangan jam mengajar, guru yang tidak linier dengan sertifikatnya, sekolah yang kelebihan guru, sekolah yang belum memenuhi rasio guru terhadap siswanya, dan daerah dengan distribusi guru yang tidak merata.

Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa beban kerja guru mengajar sekurang-kurangnya 24 jam dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Permendiknas Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi guru, dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok.

Ketentuan guru yang sudah sertifikasi, jam minimal wajib mengajar adalah 24 jam, kecuali yang mendapat tugas tambahan. Di samping itu, pemenuhan jam wajib mengajar haruslah mata pelajaran sendiri (pemenuhan jam wajib mengajar tidak dibenarkan diambil dari mata pelajaran yang lain maupun serumpun). Untuk guru yang mendapat tugas tambahan, disesuaikan pada pedoman penghitungan beban kerja guru sebagai berikut:
  1. Tugas sebagai Kepala Sekolah ekuivalen dengan 18 jam, sehingga minimal wajib mengajar 6 jam
  2. Tugas sebagai Wakil Kepala Sekolah ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  3. Tugas sebagai Kepala Perpustakaan ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  4. Tugas sebagai Kepala Laboratorium ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  5. Tugas sebagai Ketua Jurusan Program Keahlian ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  6. Tugas sebagai Kepala Bengkel ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  7. Tugas sebagai Pembimbing Praktik Kerja Industri ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
  8. Tugas sebagai Kepala Unit Produksi ekuivalen dengan 12 jam, sehingga minimal wajib mengajar 12 jam
Sebelum ada verifikasi data guru online ini, guru sertifikasi boleh saja diakui jamnya walaupun mengajar tidak sesuai dengan sertifikatnya dan mendapat tunjangan asalkan terpenuhi beban mengajar 24 jam. Di beberapa sekolah, telah terjadi kelebihan guru dan kekurangan jam serta terjadi penumpukan guru mata pelajaran tertentu. Misal, ada 1 mata pelajaran dibagi untuk 5-7 guru, akibatnya ada guru yang tidak kebagian jam mengajar. Demi terpenuhinya ketentuan beban mengajar guru 24 jam perminggu, ada sekolah yang membuat kebijakan dengan menambah alokasi waktu struktur KTSP, ada juga yang menambah jumlah rombel walau tidak sesuai rasio, membuat model team teaching, ada yang dengan sukarela iuran untuk membangun ruang kelas baru, atau bahkan ada yang menggunakan sistem arisan jam mengajar. Terlepas hal itu dapat diterima atau tidak, yang penting harus dibuktikan dengan dapodik.

Dengan struktur kurikulum yang sekarang ini,  sangat mungkin banyak guru yang kekurangan jam mengajar, sekolahpun tidak dapat berbuat banyak. Kecuali jika mengikuti peraturan bersama 5 menteri tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS, maka guru yang tidak dapat memenuhi 24 jam, dapat dipindahtugaskan ke sekolah yang kekurangan guru. Tapi, apa ada guru yang mau dipindah? Apalagi dimutasi ke daerah terpencil.

Namun, jika kita perhatikan perubahan pada struktur kurikulum 2013, ada penambahan beban jam belajar perminggunya, ini akibat adanya penambahan jam mata pelajaran tertentu, misal untuk SMP, pelajaran Agama menjadi 3 jam, PKn menjadi 3 jam, Bahasa Indonesia bertambah menjadi 6 jam, Matematika menjadi 5 jam, dst, sehingga jumlah total jam semua mata pelajaran juga bertambah menjadi 38 jam perminggu. Mungkin, ini lebih menguntungkan bagi guru yang kekurangan jam mengajar, setidaknya sekolah tidak pusing lagi membagi tugas guru. Jadi, nanti tidak ada lagi yang mengeluh kekurangan jam, tidak ada lagi sekolah yang menambah jam pelajaran, dan mungkin guru tidak perlu lagi mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain.

Label:

Optimalisasi Peran dan Fungsi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum 2013

0 komentar


Pada tanggal 12-13 Maret 2013 lalu, Progam Studi PPB-FIP Universitas Pendidikan Indonesia Bandung telah menggelar seminar nasional dan workshop yang membahas tentang Optimalisasi Peran dan Fungsi Bimbingan dan Konseling dalam Kurikulum Tahun 2013, dengan menghadirkan pembicara para pakar dari UPI dan beberapa tinggi lainnya.
Saya sebetulnya mendapat undangan tertulis dari panitia untuk hadir dalam kegiatan ini dan saya pun sudah berniat  untuk dapat memenuhi undangan ini, dengan harapan dapat memperoleh pencerahan secara langsung  dari para pemateri  tentang topik yang sedang hangat dibicarakan orang ini. Tetapi apa boleh dikata dikarenakan ada keperluan lain yang tidak bisa ditinggalkan, dengan sangat menyesal  harus  mengurungkan niat saya.
Kendati demikian, rasa penasaran dan kengintahuan saya tentang materi yang dibahas dalam seminar nasional dan workshop ini tetap saja masih terus menggayuti pikiran saya. Ketika saya sedang berkunjung ke SMA N 1 Kuningan, saya bertemu dengan  Ibu Yina Siti Nurpebriana, S.Pd, Guru BK SMK Negeri 3 Kuningan yang kebetulan beliau sempat hadir dalam kegiatan seminar tersebut. Saya menanyakan bagaimana hasil dari seminar dan beliau pun langsung menyerahkan sebuah kepingan Compact Disc yang didalamnya berisi beberapa sajian materi yang disampaikan dalam acara seminar di UPI Bandung.
Untuk kepentingan pengetahuan bersama, melalui tulisan ini saya unggah sebagian sajian materi yang disampaikan dalam acara seminar tersebut (dalam bentuk tayangan power point). Jika Anda ingin mengunduhnya, silahkan klik tautan di bawah ini dan mari kita diskusikan lebih lanjut!
  1. Kerangka Pikir Pemberdayaan Bimbingan dan Konseling dalam  Implementasi Kurikulum 2013: Sebuah Proposal Kebijakan (Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd., Profesor Ilmu Pendidikan bidang Bimbingan dan Konseling, Rektor UPI Bandung)
  2. Optimalisasi Peran dan Fungsi Bimbingan dan Konseling dalam  Kurikulum 2013. (Prof.Dr.Mungin Eddy Wibowo, M.Pd.,Kons. Guru Besar BK UNNES. Ketua Umum PB ABKIN)
  3. Dasar-Dasar Pengembangan Program BK Komprehensif (Setiawati, Dosen PPB FIP Universitas Pendidikan Indonesia)
  4. Peran Profesi Bimbingan dan Konseling dalam  Implementasi  Kurikulum 2013. (Muh Farozin. Dosen FIP UNY)
ref 

Label:

Perlukah Ujian Nasional

0 komentar






Kacau! Satu kata ini tampaknya tepat untuk menggambarkan pelaksanaan ujian nasional tingkat SMA/SMK tahun ini.

Pelaksanaan UN di 11 provinsi tertunda karena keterlambatan naskah soal, sementara keluhan bermunculan di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan UN sejak Senin, 15/4/2013. Mulai dari rendahnya kualitas lembar jawaban UN, tertukarnya paket-paket soal, kurangnya naskah soal dan lembar jawaban UN, hingga indikasi kecurangan yang mulai dilaporkan ke posko pengaduan UN atapun yang diungkapkan melalui media sosial.

Cukupkah berbagai permasalahan UN dipandang sebagai masalah teknis belaka? Andai masalah-masalah teknis ataupun indikasi kecurangan itu teratasi, misalnya dengan memperbanyak paket soal dan memperketat pengawasan, apakah UN layak dibiarkan tetap berlangsung sebagai rutinitas tahunan berbiaya besar tanpa manfaat signifikan bagi peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air?

Asumsi UN
Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir, mengapa UN menimbulkan kecemasan yang luar biasa di kalangan siswa, orangtua, dan guru? Mengapa pembelajaran menjadi tidak mengasyikkan lagi bagi siswa sehingga harus dipaksa dengan sebuah tes bernama UN?

Persoalan UN tidak bisa semata-mata ditarik ke ranah teknis. Asumsi yang melandasi kebijakan UN harus diuji keabsahannya. Ujian kelulusan didasarkan asumsi: dengan menetapkan standar akademis yang harus dicapai siswa dan diukur melalui tes standar, disertai konsekuensi atas keberhasilan ataupun kegagalan mencapai standar tersebut, akan meningkatkan motivasi siswa, guru, dan sekolah dalam meningkatkan prestasi mereka.

Laporan tahunan terbaru (2012) dari Center on Education Policy—sebuah lembaga nirlaba yang didirikan di George Washington University, yang meneliti ujian kelulusan di sejumlah negara bagian di Amerika Serikat sejak tahun 2002—menyimpulkan bahwa hingga saat ini keterkaitan antara ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa masih belum terbukti. Laporan tersebut juga merujuk pada beberapa penelitian lain, misalnya yang dilakukan Grodsky dkk (2009), Reardon dkk (2009), dan Holme dkk (2010), yang belum menemukan keterkaitan antara pelaksanaan ujian kelulusan dan peningkatan prestasi belajar siswa.

Untuk menilai efektivitas pelaksanaan UN, tentunya kita membutuhkan indikator. Salah satu indikator yang saat ini tersedia dan dapat digunakan adalah hasil-hasil survei internasional dalam TIMSS (untuk matematika), PIRLS (untuk kemampuan membaca), dan PISA (matematika, sanis, dan membaca).

Indonesia secara periodik telah mengikuti asesmen internasional tersebut dengan hasil yang memprihatinkan. Siswa Indonesia berada di peringkat bawah dalam ketiga asesmen tersebut, sebagaimana pernah saya sampaikan dalam opini saya sebelumnya berjudul ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012). Bukan hanya peringkat yang mencemaskan, melainkan mayoritas siswa Indonesia ternyata baru mencapai level penalaran yang rendah. Bukankah ini sudah merupakan indikator kegagalan UN dalam meningkatkan prestasi belajar siswa?

Sementara itu, penelitian-penelitian lain juga telah mendokumentasikan dampak negatif ujian kelulusan. Di antaranya: (1) kesenjangan prestasi akademis berdasarkan status sosial ekonomi keluarga; (2) meningkatnya risiko putus sekolah bagi siswa tak mampu dan siswa dari kelompok minoritas; (3) penyempitan kurikulum, yaitu terfokusnya pembelajaran pada mata pelajaran yang diujikan sehingga yang tak diujikan terabaikan; (4) proses belajar yang berupaya menggali aspek kreativitas dan berpusat pada siswa cenderung terpinggirkan karena lebih memfokuskan pada latihan-latihan soal; (5) tekanan berlebihan yang dirasakan siswa; tekanan berlebihan yang dirasakan guru; dan (6) berbagai modus kecurangan.

Dampak-dampak negatif ujian kelulusan yang terdokumentasikan dalam beberapa penelitian di atas sebetulnya telah kita amati di Indonesia. Dampak negatif itu lebih dominan dibandingkan dampak positif yang masih belum terbukti. Meskipun kita masih butuh penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan pengamatan-pengamatan tersebut, akal sehat kita semestinya segera mendorong kita semua untuk segera mempertanyakan apakah UN sebagai salah satu komponen penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi merupakan pilihan kebijakan yang tepat saat ini?

Tidakkah lebih bermanfaat jika biaya penyelenggaraan UN yang begitu besar, yang tahun ini mencapai Rp 600 miliar, dialihkan untuk pelatihan guru, perpustakaan sekolah, laboratorium sekolah, perbaikan sekolah yang rusak, dan pembenahan sarana dan prasarana pendidikan lainnya? Belum lagi biaya-biaya terkait UN yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan orangtua murid.

Perlu diingat pula, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan gugatan 58 warga negara atas kebijakan UN (21/5/2007). Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dengan ditolaknya upaya banding pemerintah (6/12/2007). Putusan itu kembali dikukuhkan Mahkamah Agung dengan ditolaknya kasasi pemerintah (14/9/2009). Sementara itu, tiga kali panggilan PN Jakarta Pusat terkait eksekusi putusan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Upaya-upaya yang dilakukan Tim Advokasi Korban UN, termasuk dengan menemui, antara lain, Komisi X DPR, Komnas HAM, dan Dewan Pertimbangan Presiden belum membuahkan hasil. UN masih tetap berlangsung tanpa ada penilaian dari pengadilan apakah pemerintah telah memenuhi syarat-syarat yang mesti dipenuhi sebelum melaksanakan kebijakan UN lebih lanjut.